Pasar modal Indonesia memiliki
sejarah cukup panjang. Secara resmi ditandi dengan pembukaan Bursa Efek
Batavia, pada 14 Desember 1912 sebagai cabang dari Bursa Efek Amsterdam. Hal
ini meneguhkan bursa efek di Indonesia sebagai yang tertua di Asia, seperti
Bombay, Hongkong dan Tokyo (Solihin, 2013). Meskipun Indonesi merupakan salah
satu bursa efek tertua di Asia dapat dikatakan bahwa pasar modal Indonesia
masih tertinggal dibandingkan dengan bursa efek muda bukan lagi setingkat Asia
tetapi Asia tenggara. Berdasarkan data World Federation of Exchange (2012),
kapitalisasi pasar bursa saham Indonesia sepanjang Januari 2013 hanya tumbuh
7,6% atau senilai dengan Rp 4.386 triliun dan berada di urutan kesepuluh di
kawasan Asia Pasifik. Perbedaan yang begitu jauh apabila kita komparasi dengan
Thailand yang merupakan kapitalisasi pasar dengan pertumbuhan tertinggi yakni
sebesar 46,6%. Kemudian, Pertumbuhan kapitalisasi pasar saham Indonesia juga di
bawah bursa saham Filipina yang tumbuh 41,3%, Hong Kong 20,1%, Singapura 19,6%,
Shenzhen China 16%, Australia 12,7%, Shanghai China 16%, dan India 15,9%.
Sementara bursa Malaysia hanya tumbuh 3,3%. Meskipun, jumlah pertumbuhan
Indonesia masih berada di atas Malaysia. Namun,apabila dilihat dari Nilai
kapitalisasi pasar modal Malaysia saat ini sudah mencapai US$ 3 triliun,
sedangkan Indonesia baru sekitar US$ 300 miliar. Kemudian, apabila dilihat dari
jumlah emiten Malaysia, Indonesia jauh tertinggal. Jumlah emiten Malaysia saat
ini sudah mencapai 907 emiten, sedangkan Indonesia belum menembus angka 500 emiten
(Hadaad, 2013). Selain itu, jika dilihat dari jumlah investor di pasar modal,
Malaysia mampu mencatatkan 12,8 persen dari jumlah keseluruhan warganya.
Sedangkan pasar modal Indonesia hanya mampu mencatatkan 0,27% dari yang jumlahnya kurang dari 1% jumlah penduduk
di Indonesia.
Sementara itu jumlah emiten di pasar modal Indonesia pada 5
tahun terakhir rata-rata bertumbuh 5% per tahun. Per
5 November 2014, jumlah emiten telah mencapai 501 emiten, baik emiten saham maupun emiten
surat utang korporasi. Jumlah emiten tersebut termasuk rendah apabila kita dibandingkan
dengan negara-negara di kawasan ASEAN seperti Malaysia dengan 905 emiten dan
Singapura sebanyak 767 emiten (OJK, 2014). Beberapa fakta di atas adalah bukti
nyata bahwa pasar modal Indonesia masih
tertinggal. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa permasalahan yakni. Pertama,
Jumlah investor domestik yang jumlah nya
hanya 40% dan investor asing menguasai hampir 60% jumlah kepemilikan saham di pasar modal
indonesia. Kondisi ini mengakibatkan
kerentanan pasar modal indonesia terhadap posisi net sell oleh investor asing.
Oleh sebab itu peningkatan jumlah dan transaksi investor domestik perlu
terus ditingkatkan. Hal ini berbanding terbalik dengan jumlah masyarakat kelas
menengah Indonesia sebagai investor potensial di pasar modal, yang jumlahnya mencapai
134 juta jiwa atau sekitar 65% dari total 237 juta penduduk Indonesia.
Kedua, Pengetahuan yang minim
mengenai bagaimana berinvestasi di sektor jasa keuangan, khususnya di pasar
modal. Kapabilitas sumber daya
manusia dan sosialisasi kepada pemerintah daerah adalah hal mutlak yang harus
dilakukan pemerintah. Berdasarkan survey literasi keuangan yang dilakukan oleh OJK (2013), baru sekitar
21,84% masyarakat Indonesia yang
benar-benar paham mengenai Lembaga Jasa Keuangan (LJK). Sementara itu dalam
kategori yang lebih spesifik,
hasil survei nasional literasi keuangan OJK menunjukkan bahwa
baru 28% pelajar atau mahasiswa yang memiliki tingkat
literasi yang baik dengan tingkat utilitasnya sebesar 44%. Dari survei ini juga
terungkap bahwa informasi mengenai sektor perbankan masih mendominasi tingkat
literasi keuangan masyarakat Indonesia. Sedangkan, tingkat literasi atas
produk dan layanan di sektor pasar modal masih sangat rendah, hanya sekitar 4% dengan
tingkat utilisasi kurang dari 1%. Sehingga, Sebagian besar masyarakat kelas
menengah kita masih memiliki pandangan
yang konvensional dalam hal menginvestasikan kelebihan dananya, yaitu melalui
tabungan di bank daripada berinvestasi di pasar modal.
Ketiga, Harga Indeks di Indonesia
terlalu mahal, sehingga membuat investor susah untuk masuk ke dalam pasar modal
Indonesia. salah satunya menambah supply
di market. Padahal yang terpenting adalah menambah supply agar pasar likuid bertambah,
menambah supply dimarket juga
bertambah dan menambah jumlah investor di pasar modal Indonesia.
Disisi lain Indonesia perlu mengambil langkah-langkah tepat dan baik agar pasar
modal Indonesia berkembang baik secara kualitas dan kuantitas. Menurut OJK (2013), Hal
yang harus dilakukan pemerintah untuk meningkatkan jumlah investor dan emiten yakni dengan penyederhanaan prosedur penawaran umum,
pendalaman pasar saham, sosialiasi kepada perusahaan yang berprospek IPO,
pengembangan pasar obligasi, dan perluasan basis investor domestik. Kemudian, Hal ini
didukung dengan pernyataan Muliaman (2013) Untuk dapat meningkatkan daya saing pasar modal, hal
yang perlu dilakukan adalah edukasi bagi masyarakat, peningkatan good corporate governance (GCG),
pendalaman pasar, dan diverisfikasi produk.
Perkembangan pasar modal Indonesia
sepanjang 5 tahun terakhir menunjukkan
pertumbuhan yang cukup
signifikan. Hal ini terlihat dari tingginya
pertumbuhan IHSG dan kapitalisasi pasar saham di Bursa Efek Indonesia. Pada tahun 2014 ini IHSG bahkan
mencatat level tertingginya sepanjang masa pada tanggal 8 September 2014
di level 5.246. Sepanjang tahun 2014 ini
pertumbuhan IHSG mencapai 16%, merupakan
salah satu yang terbaik di kawasan Asia, lebih tinggi dari pada Jepang,
Singapura dan Malaysia.
Indonesia pada skala ASEAN, seharusnya
mampu memegang peranan hingga 40 persen, baik dari segi perdagangan dan jumlah
penduduk. Hal Ini yang harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Indonesia seluas-luasnya dan sebesar-besarnya.
Ditulis oleh :
Mochammad Isro Alfajri
Fakultas Bioteknologi Semester IV
Universitas Teknologi Sumbawa