Rabu, 08 Juli 2015

PASAR MODAL INDONESIA MASIH TERTINGGAL


Pasar modal Indonesia memiliki sejarah cukup panjang. Secara resmi ditandi dengan pembukaan Bursa Efek Batavia, pada 14 Desember 1912 sebagai cabang dari Bursa Efek Amsterdam. Hal ini meneguhkan bursa efek di Indonesia sebagai yang tertua di Asia, seperti Bombay, Hongkong dan Tokyo (Solihin, 2013). Meskipun Indonesi merupakan salah satu bursa efek tertua di Asia dapat dikatakan bahwa pasar modal Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan bursa efek muda bukan lagi setingkat Asia tetapi Asia tenggara. Berdasarkan data World Federation of Exchange (2012), kapitalisasi pasar bursa saham Indonesia sepanjang Januari 2013 hanya tumbuh 7,6% atau senilai dengan Rp 4.386 triliun dan berada di urutan kesepuluh di kawasan Asia Pasifik. Perbedaan yang begitu jauh apabila kita komparasi dengan Thailand yang merupakan kapitalisasi pasar dengan pertumbuhan tertinggi yakni sebesar 46,6%. Kemudian, Pertumbuhan kapitalisasi pasar saham Indonesia juga di bawah bursa saham Filipina yang tumbuh 41,3%, Hong Kong 20,1%, Singapura 19,6%, Shenzhen China 16%, Australia 12,7%, Shanghai China 16%, dan India 15,9%. Sementara bursa Malaysia hanya tumbuh 3,3%. Meskipun, jumlah pertumbuhan Indonesia masih berada di atas Malaysia. Namun,apabila dilihat dari Nilai kapitalisasi pasar modal Malaysia saat ini sudah mencapai US$ 3 triliun, sedangkan Indonesia baru sekitar US$ 300 miliar. Kemudian, apabila dilihat dari jumlah emiten Malaysia, Indonesia jauh tertinggal. Jumlah emiten Malaysia saat ini sudah mencapai 907 emiten, sedangkan Indonesia belum menembus angka 500 emiten (Hadaad, 2013). Selain itu, jika dilihat dari jumlah investor di pasar modal, Malaysia mampu mencatatkan 12,8 persen dari jumlah keseluruhan warganya. Sedangkan pasar modal Indonesia hanya mampu mencatatkan 0,27% dari  yang jumlahnya kurang dari 1% jumlah penduduk di Indonesia.
Sementara itu  jumlah emiten di pasar modal Indonesia pada 5 tahun terakhir rata-rata bertumbuh 5% per tahun.  Per  5  November  2014, jumlah emiten telah mencapai  501 emiten, baik emiten saham maupun emiten surat utang korporasi. Jumlah emiten tersebut termasuk rendah apabila kita dibandingkan dengan negara-negara di kawasan ASEAN seperti Malaysia dengan 905 emiten dan Singapura sebanyak 767 emiten (OJK, 2014). Beberapa fakta di atas adalah bukti nyata bahwa pasar modal Indonesia  masih tertinggal. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa permasalahan yakni. Pertama, Jumlah investor domestik yang jumlah nya hanya 40% dan investor asing menguasai hampir 60% jumlah kepemilikan saham di pasar modal indonesia.  Kondisi ini mengakibatkan kerentanan pasar modal indonesia terhadap posisi net sell oleh investor asing.  Oleh sebab itu peningkatan jumlah dan transaksi investor domestik perlu terus ditingkatkan. Hal ini berbanding terbalik dengan jumlah masyarakat kelas menengah Indonesia sebagai investor potensial di pasar modal, yang jumlahnya mencapai 134 juta jiwa atau sekitar 65% dari total 237 juta penduduk Indonesia.
Kedua, Pengetahuan yang minim mengenai bagaimana berinvestasi di sektor jasa keuangan, khususnya di pasar modal. Kapabilitas sumber daya manusia dan sosialisasi kepada pemerintah daerah adalah hal mutlak yang harus dilakukan pemerintah. Berdasarkan  survey literasi keuangan  yang dilakukan oleh OJK (2013),  baru sekitar  21,84%  masyarakat Indonesia yang benar-benar paham mengenai Lembaga Jasa Keuangan (LJK). Sementara itu dalam kategori  yang lebih  spesifik,  hasil survei nasional literasi keuangan OJK menunjukkan  bahwa  baru  28%  pelajar atau mahasiswa yang memiliki tingkat literasi yang baik dengan tingkat utilitasnya sebesar 44%. Dari survei ini juga terungkap bahwa informasi mengenai sektor perbankan masih mendominasi tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia. Sedangkan, tingkat literasi  atas  produk dan layanan  di  sektor pasar modal  masih sangat rendah, hanya sekitar 4% dengan tingkat utilisasi kurang dari 1%. Sehingga, Sebagian besar masyarakat kelas menengah kita masih memiliki  pandangan yang konvensional dalam hal menginvestasikan kelebihan dananya, yaitu melalui tabungan di bank daripada berinvestasi di pasar modal.
Ketiga, Harga Indeks di Indonesia terlalu mahal, sehingga membuat investor susah untuk masuk ke dalam pasar modal Indonesia.  salah satunya menambah supply di market. Padahal yang terpenting adalah menambah supply agar pasar likuid bertambah, menambah supply dimarket juga bertambah dan menambah jumlah investor di pasar modal Indonesia.
Disisi lain Indonesia perlu mengambil langkah-langkah tepat dan baik agar pasar modal Indonesia berkembang baik secara kualitas dan kuantitas. Menurut OJK (2013), Hal yang harus dilakukan pemerintah untuk meningkatkan jumlah investor dan emiten yakni dengan penyederhanaan prosedur penawaran umum, pendalaman pasar saham, sosialiasi kepada perusahaan yang berprospek IPO, pengembangan pasar obligasi, dan perluasan basis investor domestik. Kemudian, Hal ini didukung dengan pernyataan Muliaman (2013) Untuk  dapat meningkatkan daya saing pasar modal, hal yang perlu dilakukan adalah edukasi bagi masyarakat, peningkatan good corporate governance (GCG), pendalaman pasar, dan diverisfikasi produk.
Perkembangan pasar modal Indonesia sepanjang 5 tahun terakhir menunjukkan  pertumbuhan  yang cukup signifikan.  Hal ini terlihat dari tingginya pertumbuhan IHSG dan kapitalisasi pasar saham di Bursa Efek Indonesia.  Pada tahun 2014 ini IHSG  bahkan  mencatat level tertingginya sepanjang masa pada tanggal 8 September 2014 di level 5.246.  Sepanjang tahun 2014 ini pertumbuhan IHSG  mencapai 16%, merupakan salah satu yang terbaik di kawasan Asia, lebih tinggi dari pada Jepang, Singapura dan Malaysia.
Indonesia pada skala ASEAN, seharusnya mampu memegang peranan hingga 40 persen, baik dari segi perdagangan dan jumlah penduduk. Hal Ini yang harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia seluas-luasnya dan sebesar-besarnya.
Ditulis oleh :
Mochammad Isro Alfajri
Fakultas Bioteknologi Semester IV

Universitas Teknologi Sumbawa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar